RIAU REDAKSI – Jakarta, atu hal pasti yang terjadi saat bertransaksi di pasar tradisional adalah kegiatan tawar-menawar. Biasanya terjadi ‘adu urat’ antara pedagang dengan pembeli, khususnya para perempuan.
Pembeli ingin membeli barang dengan harga semurah mungkin. Sementara, pedagang kebalikannya. Situasi ini memang menyebalkan. Menariknya para pedagang Eropa yang berdagang ratusan tahun lalu di Indonesia juga pernah merasakan hal serupa.
Sebagai catatan, bangsa Eropa terbiasa melakukan transaksi perdagangan secara sistematis. Harga yang ditawarkan tak bisa diotak-atik karena sudah berdasarkan mekanisme pasar. Atas dasar ini, pembeli pun tak pernah menawar.
Namun, kebiasaan itu sirna saat bertransaksi di pasar Asia Tenggara, termasuk Indonesia.
Denys Lombard dalam Nusa Jawa Silang Budaya (1996) menjelaskan, Bangsa Eropa seringkali jengkel menghadapi transaksi tawar-menawar yang jadi kebiasaan masyarakat Asia. Kejengkelan tersebut dapat dipahami sebab mereka adalah pendatang yang tidak mengerti bahasa dan kebiasaan lokal.
Alhasil, mereka menganggap hal itu melelahkan dan tidak perlu. Apalagi terkadang mereka diberi harga mahal oleh penjual hanya karena tergolong orang asing. Oleh karena itu, mereka sering menganggap dirinya korban penipuan atas transaksi tawar-menawar.
“Adat Asia mengharuskan untuk memperhatikan juga hubungan sosial yang terdapat antara penjual dan pembelinya. Jadi memang dianggap sepenuhnya halal bahwa si kaya, khususnya orang asing, membayar lebih banyak untuk barang yang sama,” kata Lombard.
Lalu, siapa tokoh sentral dalam transaksi pasar dan tawar-menawar harga?
Jawabannya adalah perempuan. Hal ini mengacu pada paparan Anthony Reid dalam Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680, Jilid 1 (1992) yang menyebut sejak abad ke-15 kegiatan pasar di Asia Tenggara sangat dikuasai perempuan. Jadi bangsa Eropa sebal dan tak berkutik menghadapi perempuan yang jago tawar-menawar harga.
Kebiasaan ini lazim dilakukan karena perempuan, baik itu sebagai pembeli atau pedagang, diberi kewenangan oleh pria mengatur keuangan rumah tangga. Reid mengutip catatan-catatan penulis lokal soal kegiatan perempuan dan aksinya dalam tawar-menawar harga.
Ambil contoh di Siam (kini Thailand) abad ke-15 yang sudah jadi kebiasaan masyarakat bahwa semua transaksi perdagangan ditangani perempuan. Sementara di Maluku abad ke-16, perempuan diberi kewenangan melakukan tawar-menawar, membuka usaha dan kegiatan jual-beli lain.
Begitu pula di Jawa abad ke-17. Perempuan dipercayakan oleh para suami untuk mengatur keuangan dan jual beli karena laki-laki biasanya bodoh mengurus uang.
“Para pedagang awal dari Eropa dan China selamanya terheran-heran karena mereka harus berurusan dengan kaum perempuan,” kata Anthony Reid.
Meski begitu, sikap orang Eropa yang ogah melakukan tawar-menawar juga membuat warga lokal sebal. Ini terjadi di Maluku sebagaimana dipaparkan Anthony Reid dalam Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680, Jilid 2 (1992).
Saat itu, orang Belanda ingin membeli barang dengan harga pasti yang ditentukan berdasarkan kehendak sendiri. Pedagang Maluku tak mau melakukan itu karena bukan kebiasaan. Mereka ingin terjadi tawar-menawar. Namun, karena orang Belanda melunturkan kebiasaan itu, warga lokal menjadi malas untuk menanam dan memperdagangkan cengkeh dengan mereka.
*****
Lihat: : Sumber Berita
RIAU REDAKSI
# Portal Berita Pekanbaru # Portal Berita Riau # Berita Pekanbaru # Berita Riau