RIAU REDAKSI, PEKANBARU – Pengelolaan sampah menggunakan pihak ketiga, di Kota Pekanbaru untuk tahun 2022 nanti, kembali mendapat penolakan dari anggota DPRD Pekanbaru.
Setelah Fraksi PDI-P DPRD Pekanbaru, kini Ketua Komisi IV DPRD Pekanbaru Sigit Yuwono ST, memberi saran agar pengelolaan sampah memakai sistem kerjasama (KSO).
Tentunya dengan perusahaan yang bonafit, yang mampu menghasilkan uang dari pengangkutan sampah ini. Selain menghemat anggaran, Pemko juga diuntungkan.
Seperti diketahui, anggaran pengangkutan sampah tahun 2022 diposkan sebesar Rp 58 miliar.
“Kalau di KSO-kan, tentu kita hemat uang Rp 58 miliar. Uang itu bisa kita gunakan untuk kegiatan lain, yang menyentuh masyarakat,” tegas Sigit Yuwono kepada Tribunpekanbaru.com, Kamis (11/11/2021).
Diakuinya, di saat Pemko Pekanbaru kini yang belum stabil, pihaknya tidak setuju pengelolaan sampah di pihak ketiga kan lagi.
“Kita menyarankan untuk di KSO kan saja. Mulai dari pengangkutan, retribusi, hingga nanti pengolahan sampah menjadi sumber yang dapat dinikmati masyarakat Pekanbaru sendiri,” tambahnya.
Kegiatan lain di lingkungan Pemko Pekanbaru, kini sudah ada di KSO-kan, yakni parkir di Dishub Pekanbaru. Harusnya sistem parkir ini menjadi referensi oleh DLHK, untuk pengangkutan sampah.
Dengan sistem KSO ini, Pemko justru tidak mengeluarkan uang sedikit pun. Tapi yang dilakukan saat ini, Pemko tetap mengeluarkan uang, tapi hasilnya justru tidak sesuai harapan banyak pihak.
“Dengan pimpinan baru di DLHK, kita harapkan ada kemajuan lah. Jangan melulu mengandalkan APBD. Kan masih ada waktu, mumpung APBD dan tender belum ada pemenangnya,” tegas Politisi senior Partai Demokrat ini.
Jika berkaca tahun 2021 lalu, anggaran pengelolaan sampah dari APBD Pekanbaru Rp 45 miliar. Tahun depan, 2022, bahkan mencapai Rp 58 miliar. Iornisnya lagi, masyarakat tetap dibebankan uang retribusi.
Disinggung saat ini DLHK Pekanbaru sedang menggelar tender pengelolaan sampah tahun 2022, Sigit Yuwono menegaskan lagi, jika memang tidak bisa memakai KSO, maka DLHK Pekanbaru wajib mengubah bunyi kontrak lama.
“Jika DLHK tetap ngotot, kontrak harus direvisi. Terutama bunyi kontrak yang mengambil sampah dari sumber sampah. Ini lah yang menyebabkan munculnya TPS ilegal, serta sampah menumpuk. Isi kontraknya harus mengambil sampah langsung ke rumah warga, atau tempat usaha,” sebutnya.
Termasuk halnya mengenai retribusinya. Sebab, sampai sekarang kebocoran retribusi sampah masih tinggi.
“Sekarangkan pengangkutan dengan APBD, sementara untuk retribusi tidak sebanding dengan anggaran yang dikeluarkan, ” katanya lagi.
Sumber : Tribunnewspekanbaru.com