RIAU REDAKSI – Ketika Soeharto Paling Berkuasa: Kisah Kesepian dalam Hidup Pensiun
Setelah tak lagi memegang jabatan, kehidupan masa pensiun seorang presiden menjadi sorotan. Banyak orang ingin tahu aktivitas sehari-hari orang paling berkuasa ketika menjadi rakyat biasa. Soal ini ada banyak contoh di Indonesia.
Presiden SBY, misalkan, saat pensiun aktif di kegiatan melukis dan membangun klub voli. Sedangkan, Presiden Megawati masih aktif di kegiatan politik. Lalu Presiden Jokowi pernah bercerita kalau bakal aktif di kegiatan lingkungan ketika pensiun di 2024.
Lalu, bagaimana dengan masa pensiun Presiden Soeharto? Apa aktivitas sehari-hari dari orang yang paling berkuasa selama 32 tahun? Begini ceritanya.
Menutup diri & sakit
Setelah membacakan pidato pengunduran diri pada Kamis, 21 Mei 1998, Soeharto bergegas pulang ke kediamannya di Jl. Cendana No.8. Hari itu rumah diselimuti kesedihan. Dia disambut oleh kesunyian dan sesekali isak tangis keluarga yang tak rela bapak atau kakeknya mundur.
Namun, Soeharto tetap bersikap tegar. Dia sudah menerima kenyataan dan tak ingin keluarga larut dalam kesedihan. Baginya, keputusan mundur adalah jalan terbaik. Dia berpikir apabila tetap bertahan, situasi makin buruk dan korban bakal jatuh lebih banyak.
“Allahu Akbar. Lepas sudah beban yang terpikul di pundak saya selama berpuluh tahun,” kata Soeharto sembari mengangkat kedua tangan, dikutip Tempo Edisi Khusus Soeharto, Setelah Dia Pergi (2008).
Sejak itulah, Soeharto resmi menjadi rakyat biasa. Sayangnya, keputusannya untuk mundur membawa konsekuensi besar bagi hidupnya. Gelombang kebebasan era reformasi membuat Soeharto dan keluarga menjadi objek hujatan publik.
Banyak rakyat menuangkan emosinya atas 32 tahun kepemimpinan Soeharto, terutama soal dugaan keterlibatan kasus dugaan korupsi selama berkuasa. Sejarawan Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern (2009) menyebut sejak tahun 1999 banyak berseliweran spanduk yang menuntut pengusutan kasus tersebut.
Di tengah keriuhan yang terjadi, Soeharto lebih memilih menarik diri. Masih mengutip Tempo Edisi Khusus Soeharto, Setelah Dia Pergi (2008), Soeharto lebih banyak menghabiskan pensiun bersama keluarga di Jl. Cendana.
Dia hanya menerima beberapa kawan dan para pejabat, itu pun biasa diterima saat Lebaran atau perayaan ulang tahun. Namun, tetap saja saat terjadi pertemuan Jenderal Besar itu lebih memilih diam, tak banyak bercerita dan bicara.
Pernah suatu hari Yusril Ihza Mahendra, eks-penulis pidato Presiden Soeharto dan Menteri Sekretaris Negara era SBY, berkunjung ke Jl. Cendana. Dia melihat Soeharto diselimuti rasa kasihan. Rumahnya sepi dan Soeharto duduk sendiri di kursi goyang.
“Di situ saya timbul rasa kasihan. Rumah sepi enggak ada orang. Pak Harto duduk di kursi goyang. Ini yang sekian lama berkuasa di Indonesia, duduk sendirian di kursi goyang, kira-kira begitu,” kata Yusril, kepada CNN Indonesia 2018 silam.
Kepada Yusril, Presiden RI Ke-2 itu juga mengaku kehabisan uang untuk merenovasi rumah yang sudah rusak. Atas dasar inilah, Soeharto meminta ‘jatah’ kenang-kenangan dari negara sesuai aturan yang berlaku, yakni rumah senilai Rp 20 miliar. Namun, Soeharto menolak pemberian rumah dan meminta uangnya saja untuk keperluan renovasi.
Selain harus bergelut dengan rasa sepi, Soeharto juga harus melawan rasa sakit yang dideritanya di masa-masa tua. Diketahui, Soeharto menderita stroke sejak tahun 1999. Berulang kali juga dia bolak-balik rumah sakit untuk mengobati penyakit jantung dan pencernaan, serta terpaksa berada di ruang operasi.
Pada akhirnya, masa-masa tua Soeharto yang dulu terhormat dan berkuasa harus berakhir pada 27 Januari 2008 karena meninggal dunia.
*****
Lihat: : Sumber Berita
RIAU REDAKSI
# Portal Berita Pekanbaru # Portal Berita Riau # Berita Pekanbaru # Berita Riau